Jumat, 16 Maret 2012

Gadis Berkerudung Di Pantai Kuta

GADIS BERKERUDUNG DI PANTAI KUTA, BALI
            Karya didah hamidah




Pasir putih lembut menciumi telapak kakiku yang kini telanjang, aku bisa melihat bahwa laut dan langit seakan sedang berlomba-lomba membirui bumi dan bagiku perlombaan ini tidaklah adil karena beberapa awan terus menerus mengganggu langit menuangkan tinta putih ditengah kebiruannya, bahkan suara deru ombak yang menari-nari di bebatuan karang nan hitam ini terkadang seakan berteriak menyoraki sang jagoannya si laut biru. Pemandangan indah inilah yang sangat dicintai ku dan para turis-turis. Di bibir pantai, bule-bule seperti berbaris, membiarkan tubuhnya terlentang beralaskan tikar menjemurkan kemolekan kulitnya yang hanya terbalutkan bikini dan celana dalam yang amat minim.
Tidak dengan gadis yang kutemui dua bulan yang lalu. Ia datang kepantai ini dengan kerudung hijau mudanya lengkap dengan baju gamisnya yang menjaga tubuh indahnya. Tiap hari ia berdiri dipinggir pantai membiarkan ombak-ombak menjilati kakinya yang terbalutkan kaos kaki. Hanya hal itulah yang dilakukanya selama ini, di waktu yang sama. Awalnya aku risih dengan penampilannya dan aneh dengan tingkahnya itu, namun lama kelamaan aku menaruh perhatian pada dirinya dan segala yang ada pada dirinya. Terlebih pada sesuatu yang tak bisa kulihat, dibalik kerudungnya.
Pantai kuta memang memancarkan keindahanya, hampir tiga tahun aku terus menghabiskan waktu di pantai ini, namun kecantikan pantai ini tak pernah habis dan terus menerus terpancarkan. Tapi belakangan ini si kuta telah kehilangan kecantikanya dan seakan berhenti memancarkan keindahanya semenjak gadis itu datang. Rasanya kecantikan pantai ini telah berpindah padanya. Entah kenapa aku merasakan kecantikan begitu terpancar pada gadis yang sama sekali tak kukenali ini dan bahkan wajahnya sama sekali tak bisa kulihat, kerudung yang tak pernah ia lepas itu menambah kecantikan paras wajahnya dan pakaian yang ia kenakan turut melayani kemolekan tubuhnya, sedikit pun tak pernah membiarkan sembarangan orang menikmati kecantikan sang pemilik. Hanya sorot matanya yang bergelora seakan magnet yang terus-menerus menarik perasaan ku.
Aku adalah seorang manusia yang tak pernah percaya pada adanya Tuhan, bagiku semua tercipta kareana memang tercipta. Ateis.
Namun belakangan ini aku tertarik pada agama yang dianut oleh si gadis manis itu. Kenapa agamanya menganjurkan wanita untuk memakai kerudung? Padahal bukankah kecantikan dan keelokan itu patut untuk diperlihatkan dan dibagikan terlebih dibanggakan? Tapi kenapa harus ditutupi. Begitu susah teka-teki itu ku pecahkan hingga aku memberanikan diri tuk mengenal lebih mendalam agama Islam, agama yang dianut oleh malaikat pantai yang mengalihkan pandanganku, pandangan seorang pelatih serving  di Pantai Kute, Bali.
Ustad Akbar adalah guru spiritualku sejak 2 minggu belakangan ini. Awalnya aku hanya berniat untuk menanyakan alasan wanita Islam mengenakan kerudung, namun setelah mendapat jawaban dari pria berjanggut panjang ini malah pertanyaan lain muncul dan muncul lagi. Agama ini seakan menarikku kedalamnya.
            “ Allah akan memberikan hidayah pada siapa saja yang Ia kehendaki ”. ucap pak ustad pada ku
Benarkah aku mendapatkan Hidayah? Kenapa harus dari sayap-sayap malaikat pantai? Yang bahkan aku tak tahu sekarang ia terbang kemana semenjak seminggu belakangan ini?
Pagi ini, aku memutuskan untuk berhenti bekerja sebagai pelatih serving, aku akan kembali pada pekerjaan lamaku, pekerjaan yang begitu dekat dengan malaikat Ijro’il. Hari inipun, hari pertama aku kerja di tempat ini,
Ditempat inilah orang-orang menyimpan harapan untuk hidup pada malaikat putih tak bersayap.
            “ pak dokter?”. Seorang suster berkerudung memanggilku, aku masih tak biasa dengan panggilan pak dokter yang ku tinggalkan 3 tahun yang lalu. itu
            “ Iya? ”
            “ Ada pasien pak ”
            “ oh… suruh pasiennya masuk” ucap ku canggung
Pandanganku terus tertuju pada pintu yang hanya tertutup kain biru, seperti apakah pasien pertamaku itu? Gumam ku dalam hati
Seorang wanita setengah baya memasuki ruangan ini bersma dengan  bocah  yang ia gendong. Tiba-tiba bocah itu pun menangis setelah melihatku
            “ jangan nangis… pak dokter gak gigit ko “
            “ hua…hua…” makin lama suaranya makin keras
***
Sudah lewat jam kerja, aku masih betah di rumah sakit ini, meski baru satu pasien yang ku periksa. Rupa-rupanya perasaan ini lah yang kurindungan semenjak aku memutuskan tuk berhenti. Perasaan jengkel saat ada pasien rewel, perasaan sengang saat melihat mereka tersenyum. Ditengah lamunanku itu, terselip pula rasa rinduku pada malaikat pantai yang sudah lama tak kulihat.
            “ mana mungkin “. Harapku bertemu lagi dengannya
Mataku melirik ke arah jam dinding tepat di sampingku. 09.30 WIB, waktu cepat sekali berlalu, seketika tanganku meraih tas dan jaket hitam. Ku putuskan tuk pulang.
***
Tempat ini jika malam hari begitu sunyi dan sepi, tak seperti tempat kerjaku dulu. Padahal tempat ini bagai udara bagi para penghuninya.
Beberapa kali aku berpapasan dengan suster-suster yang bertugas mengontrol para pasiennya di lorong-lorong rumah sakit yang selangkah demi selangkah ku lewati.
Sesampainya di ujung lorong ku dengar suara orang menangis, seketika aku menahan nafas dan mencoba mempertajan telingaku, suara siapakah ini? Hantu? Bukankah didunia ini tak ada hantu? Ketelusuri sumber suaranya hingga akhirnya ku dapati seorang gadis berkerudung bersembunyi dikegelapan.
            “ assalamu’alaikum?” ku coba tuk mendekatinya
Ia nampak kaget dan mencoba tuk menyembunyikan wajahnya
            “ wa’alaikum salah” ucapnya dengan suara getar
            “ apa kau sakit? “
Ia menjawab dengan menggelengkan kepalanya
            “ lantas apa yang bisa ku bantu?”
            “ tidak “
Gadis itu mencoba menghindar dan pergi meninggalkan ku, aku penasaran hingga akhirnya ku berlari menyaingi langkahnya
            “ nona tunggu! “ ku pegang pundaknya, ia mencoba melepasnya
            “ maaf…, maksud ku “
            “ tidak apa-apa….. “ ucapnyai, sorot lampu mulai menerangi wajahnya.
Dia……………
Bukankah gadis yang selalu ku lihat di pantai itu? Benarkah?
Akan ku cari tahu dia. Tekad ku dalam hati,
***
            “ pasien itu namanya Fatimah “
            “ terimakasih”
Karena ku dokter, mudah untuk ku mencari tahu informasi soal pasien di sini.
            “ Fatimah…..” ucapku lembut
Tidak salah lagi memang dia, gadis berkerudung di pantai kute adalah Fatimah. Malaikat pantai adalah Fatimah. Jantungku masih berdebar kencang saat mengetahui dirinya.
Di lorong rumah sakit kaki ku yang tadinya melangkah lebar kini menyempit ku temui dia sedang berdiri memandang matahari, sama halnya seperti yang biasa ia lakukan di pantai.
            “ Fatimah?”
Ia menoleh.
            “ maaf?”
              “ iya, emh.. maksudku aku dokter yang semalam itu” tak di sangka aku juga bisa grogi bicaranya
Fatimah malah memalingkan mukanya yang ia selalu tutupi dengan cadar terkecuali semalam.
            “ apa ada yang salah dengan operasi matamu? Bukankah operasinya lancar, kau sudah bisa melihat kan?”
Sebelumnya aku t’leh bertanya pada dokter dan perawat yang menanganinya
            “ apa ada yang salah dengan bisa melihat?”. tanyanya berbalik. Membuatku kaget.
            “ hah? “
            “ operasi ini seperti kesalahan bagiku, bisa melihat ternyata tak seindah yang ku bayangkan. Dunia lebih indah jika dilihat gelap.”
Kata-katanya terus ku putar ulang di mesin otak ku, ku kaji apa artinya? Dan kenapa ia harus katakan itu pada ku?
Fatimah.
Gadis inilah yang merubah hidupku dan mengambil kecantikan pantai kutedan kini member pertanyaan baru pada ku? Pada siapa lagi aku harus bertanya agar ku dapayi jawabanya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar